Rabu, 02 Agustus 2017

Misteri Danau Moloku


Foto: Menyerahkan buku pada Dar. Foto ini diambil di sekitar danau Moloku



Tak begitu sulit menemukan kisah-kisah misteri di Buton Utara, khususnya di desa-desa paling ujung Kecamatan Kulisusu (Kampo Entaa dan Lantagi). Di sana terhampar luas narasi tentang tanah yang mereka pijak. Boleh jadi narasi itu dianggap tak masuk akal oleh kalangan yang menganggap dirinya terpelajar, menyandang sebaris gelar di belakang namanya dan memiliki jabatan prestisius. Tapi bagi masyarakat yang hidup di sana, narasi itu adalah milik, warisan, jati diri dan pandangan hidup yang perlu mereka jaga. Hal ini seperti narasi tentang danau Moloku, yang dipercaya mengandung banyak misteri dan karena itu dianggap sebagai danau yang sakral.

***

Danau Moloku terletak di ujung paling selatan Kecamatan Kulisusu. Ukurannya tidak begitu luas namun--percaya atau tidak--keindahannya cukup menggoda untuk mencuri pandangan kita. Danau itu tampak terawat, alami, dikelilingi hutan mangrove yang hijau, rimbun, dan menjulang tinggi. Airnya menurut keterangan warga setempat berasa asin, dan tampak sangat jernih hingga kita dapat melihat kerang-kerangan yang menempel pada akar-akar hutan mangrove yang masuk ke air. Nama Moloku menurut salah satu kisah kerap dihubungkan dengan seorang sufi besar bernama La Moloku atau Al-Mulk yang tinggal di situ. Saban hari penduduk di sekitar danau ini mencari ikan mujair yang sengaja di lepas hingga beranak pinak di danau itu. Namun mereka tak diporbolehkan menjual ikan yang ditangkap di danau itu. Mereka hanya boleh menangkap untuk keperluan makan saja (pola subsisten). Jika kita hendak mencoba ikan di danau itu, kita diperbolehkan menyewa jasa nelayan setempat untuk menangkap ikan mujair dengan menggunakan alat tangkap panah ikan.

Saya mengunjungi danau Moloku beberapa bulan yang lalu--jujur saja ini adalah kunjungan pertama saya. Di sana saya menemukan beberapa dua anak muda yang tengah duduk di gazebo dekat danau.  Di salah satu gazebo terlihat banyak tergantung pipa dan nampan nasi berukuran kecil. Itu langsung mengundang pertanyaan dalam benak. Saya mendekati dua anak muda itu dan mencoba menanyakan keberadaan nampan nasi itu, apakah untuk keperluan wisatawan yang membawa bekal atau untuk apa? Salah satu anak muda yang akrab disapa Dar itu mengatakan bahwa nampan nasi itu bukan untuk tempat menyajikan makanan para iwsatawan, tetapi itu bekas tempat penangkaran kepiting Asoka yang beberapa lalu dipelihara oleh salah satu SKPD di Buton Utara. Kamipun terlibat percakapan. Berikut ini saya ceritakan hasil percakapan saya dengan saudara Dar secara verbatim.

Menurut Dar, warga sekitar tidak setuju dengan adanya penangkaran kepiting atau apapun di danau itu. Itus sudah ada ketentuannya dalam adat, katanya. Warga setempat percaya jika itu dilakukan, ketentuan adat itu dilanggar, dapat menimbulkan bencana yang bisa saja merugikan si pelanggar dan dapat pula merugikan secara luas, timbul bencana atau kesialan yang menimpa banyak orang. Tingginya curah hujan tahun ini yang telah menibulkan banjir di beberapa kecamatan di Buton Utara diyakini sebagai akibat pelanggaran adat yang terjadi di danau Moloku, penangkaran kepiting Asoka. Warga sekitar gerah dan tak menerima penangkaran yang di dalangi pemerintah daerah tersebut. Kejadian yang tak diinginkan terjadi. Gerah karena nilai-nilai yang mereka yakini dipinggirkan warga akhirnya berbondong-bondong menyerang penjaga penangkaran kepiting Asoka tersebut yang juga merupakan penduduk sekitar. Kerusuhan terjadi dan si penjaga yang katanya digaji oleh pemda Rp. 100.000/malam harus mengalami luka di tangan karena melindungi kepalanya dari sayatan parang.

Banyak yang tak tahu kejadian ini. Di pasar hanya beredar rumor bahwa penyebab tingginya curah hujan adalah akibat penangkaran kepiting Asoka itu. Dan di media sosial orang-orang ramai membicarakan hubungan antara curah hujan dan pemeliharaan kepiting Asoka. Ada yang mengatakan itu adalah mitos, konyol, kuno, tidak masuk di akal dan harus ditinggalkan. Pendapat ini dianut oleh kalangan yang menyebut dirinya lulusan univeritas dengan gelar mereka yang mentereng. Dan ada pula yang menyayangkan tindakan pemerintah yang mengabaikan aspek sosial-antropologis dalam pembangunan. Bagi warga di sekitar danau Moloku, tindakan menjual ikan saja itu dilarang apalagi mau menjadikan danau itu sebagai tempat pemeliharaan kepiting Asoka yang bukan habitat asli di situ. Itu memang sebuah

Pendapat para lulusan universitas itu bahwa larangan itu sebagai mitos yang sudah usang dan harus ditinggalkan mungkin saja benar. Tapi perlu diingat bahwa mitos itu dipercaya kebenarannya sedemikian rupa sebagai hal yang sangat penting oleh para pemangku kebudayaan itu. Yang lebih penting lagi, mitos itu telah melindungi dan merawat kealamiahan dan keaslian danau itu dari pengelolaan alam yang berlebihan. Memang di sini sudah ada ikan mujair yang dilepas, namun itu bukan untuk tujuan memelihara demi keperluan komersial. Ikan-ikan mujair itu dilepas begitu saja dan dibiarkan berkembang biak sendiri di danau itu. Ikan-ikan inilah yang lkemudian ditangkap dan dimanfaatkan oleh warga setempat untuk keperluan makan saja dan bukan untuk dijual. Mereka melepas ikan-ikan mujaun itu sebab mereka percaya jika ikan habitat asli danau yang ditangkap, ikan itu tak akan pernah masak sekalipun dimasak di atas seribu tungku. Hal ini memang tak masuk akal, tapi sekali lagi mitos tersebut sudah merawat kealamiahan danau Moloku selama ratusan tahun sehingga hari ini kita masih bisa menyaksikan keaslian danau itu. Masyarakat sekitar danau telah lama memiliki mitos itu sebagai bagian dari kehidupannya (kebudayaan), pantas mereka terusik jika ada orang yang mau memanfaatkan danau itu tanpa mengindahkan kebudayaan mereka.

Selain misteri ikan yang tak pernah masak dan tak boleh dikomersialkan, danau ini juga dipercaya terhubung oleh semacam terowongan bawah tanah dengan laut Banda. Dar berkisah bahwa pernah ada kapal yang hancur di laut Banda yang lokasinya tak jauh dari danau Moloku, bangkai kapal itu tiba-tiba keluar di danau Moloku. Hal ini berarti ada terowongan yang menghubungkan danau Moloku dengan laut Banda. Namun belum ada yang berani membuktikan anggapan ini. Dar berkata bahwa masyarakat di sini bahkan tidak berani naik perahu ke tengah danau, takut ada pusaran air yang mengisap mereka ke dalam terowongan. Demikian juga dengan para penangkap ikan dengan menggunakan alat tangkap panah, mereka hanya mencari ikan di pinggir-pinggir danau, dan tidak berani berenang ke tengah-tengah danau.

Kisah tentang penyu emas dapat pula dijumpai di danau ini. Orang-orang yang bernasib baik dapat melihat penyu emas di danau ini, tapi orang-orang yang nasibnya kurang beruntung tidak akan melihat penyu emas itu. Memang di danau ini hidup banyak penyu. Tapi beberapa adalah hasil tangkapan di tempat lain lalu di lepas di danau itu.

***


Tiba-tiba kawan-kawan Dar muncul dari sisi danau. Mereka membawa lima ekor ikan mujair sebesar telapak tangan orang dewasa. Rupanya dari tadi Dar dan satu orang temannya tengah menunggu kawan-kawannya itu. Api pun langsung dinyalakan dan mereka membakar hasil tangkapan itu. Saya kemudian pamit pulang setelah membagikan buku yang saya tulis kepada Dar. Saya pikir dia telah memberi saya banyak informasi menarik, terutama konflik sosial yang muncul akibat pemeliharaan kepiting Asoka. Walau tak sampai menelan korban jiwa, konflik itu sempat meneteskan darah, darah sebagai harga yang harus dibayar dari abainya pemerintah menimbang sisi sosiologis dan antropologis dari pembangunan. Tania Murray Li mengingatkan dalam buku The Wil to Improve (Kehendak Untuk Memperbaiki) bahwa kehendak untuk memperbaiki dari atas (pemerintah) dalam bentuk pembangunan tidak selalu dapat diterima secara baik oleh masyarakat, sebab masyarakat sebagai subjek pembangunan bersifat politis dalam menghadapi upaya pemerintah untuk membangun. Sifat politis ini bisa ditunjukan dalam bentuk penolakan, pengembangan strategi perlawanan, demi membela hak dan kepentingan masyarakat itu sendiri. Salah satunya dalam kasus danau Moloku ini ini hak dan kepentingan akan budaya masyarakat di sekitar danau Moloku. Oleh sebab itu, poin penting yang harus ditegaskan adalah bahwa pembangunan tak bisa lagi hanya mengandalkan analisis teknis dari salah satu sektor saja, harus ada kajian komperhensif lintas sektor termasuk sektor kebudayaan.

0 komentar:

Posting Komentar

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com