Selasa, 27 Desember 2016

Kisah Sawerigadding dalam Kebudayaan Orang Kulisusu

Ilustrasi Sawerigadding


Berikut ini akan diceritakan kedatangan Sawerigading di Kulisusu menurut tradisi lisan orang Kulisusu. Cerita ini tidak secara langsung berkaitan dengan asal-usul genealogis orang Kulisusu, bukan pula ceritra sejarah yang benar-benar pernah terjadi di masa lampau. Cerita ini merupakan cerita rakyat yang dapat ditafsirkan sebagai upaya orang Kulisusu membangun diskursus kekuasaan dalam ruang kultural. Sawerigading sang tokoh dalam epos I Lagaligo dalam tradisi lisan orang Kulisusu dipahami sebagai pendatang yang datang ke Kulisusu setelah wilayah Kulisusu sudah dihuni oleh manusia. Menurut cerita orang Kulisusu, Sawerigading ini datang dengan dikawal sekelompok orang Bajo yang kemudian menetap dan mendirikan perkampungan Bajo di Kulisusu. Keberadaan perkampungan Bajo ini bagi orang Kulisusu menjadi fakta material yang dijadikan sebagai pendukung kebenaran cerita kedatangan Sawerigading ini.

Jaadi menceritakan bahwa Sawerigading adalah seorang pria yang gagah dan berani berkulit putih kuning serupa warna batang bulu (bambu) di bagian atas buku-buku (gadhi-gadhino surabhi). Karena kulitnya yang menyerupai gadhi-gadhino surabhi tersebut, maka pria itu diberi nama Sawerigading. Beliau adalah putera Raja Bugis yang merantau sampai di negeri Cina dengan tujuan mencari wanita cantik, yang dapat sepadang dengan keindahannya. Sekembali dari negeri Cina Sawirigading bertanya pada orang tuanya: “adakah negeri yang bernama kulisusu ayah?” Ayahnya menjawab: “ada; di Utara Pulau Buton bagian Timur”. “Saya akan ke Kulisusu ayah”, begitu kata Sawirigading. Ayahnya berkata: “kalau anak mau ke Kulisusu, tebang saja mangga di halaman rumah lalu jadikan sampan untuk tumpanganmu.” Sawerigading kemudian menebang pohon mangga itu dan dijadikan sampan.

Selesai membuat sampan, Sawirigading memanggil 40 orang Suku Bajo sebagai tenaga pendayung, lalu mereka berlayar menuju Kulisusu. Dalam pelayaran dari teluk Bone menuju ke Kulisusu, banyak tenaga pendayung yang kehabisan tenaga. Sehingga, setiap tenaga pendayung sudah tidak mampu akan diturunkan ke daratan terdekat. Itulah sebabnya sehingga banyak perkampungan Suku Bajo dari teluk Bone ke Kulisusu (utamanya Tiworo Kepulauan).

Tiba di pasi Boneo, perahu Sawerigading berlabuh. Sawirigading dan para pendayung tidak langsung naik ke darat demikian juga penduduk di darat tidak turun menjemput. Semenjak perahu Sawirigading berlabuh di pasi Boneo penduduk di darat merasakan suatu musibah, yaitu bila penduduk turun ke laut dengan jumlah ganjil, maka salah seorang akan menghilang, tak diketahui kemana perginya. Bila penduduk di darat turun ke laut dengan jumlah genap maka semua akan selamat. Dengan ketentuan waktu terjadinya peristiwa sebagai berikut:
a.   Genap atau ganjil manusia yang turun ke laut dari tanjung Goram sampai Wacu Ea dari terbit sampai terbenam matahari (siang hari)
b.   Genap atau ganjil manusia yang turun ke laut dari Tanjung Goram sampai Wacu Ea, dari terbenam samapi terbit matahari (malam hari).

Karena kejadian tersebut, seorang perempuan pribumi bernama Wa Tompa Mata meramalkan bahwa pemilik perahu yang berlabuh adalah seorang manusia yang sedang mencari pasangan hidup. Wa Tompa Mata ingin mengetahui siapa nama juragan perahu itu. Wa Tompa Mata kemudian turun ke perahu Sawerigading dengan menyamar sebagai laki-laki. Di perahu tersebut, Wa Tompa Mata berbicara dengan Sawirigading sebagai seorang pria. Tapi kemudian, timbul kecurigaan Sawirigading dan berkata: “engkau ini bukan seorang pria, melainkan seorang wanita”. Wa Tompa Mata menjawab: “masa seorang wanita akan turun menjemput tamu dari negeri lain di pelabuhan, saya adalah seorang pria”, kata Wa Tompa Mata.

Semua alasan Wa Tompa Mata tidak dipercaya oleh Sawirigading. Ia kemudian memegang kedua tangan Wa Tompa Mata sampai Wa Tompa Mata mengakui dirinya seorang perempuan, tetapi ia telah bersuami. Saat itu juga Wa Tompa Mata mengatakan ia mempunyai seorang adik perempuan yang belum menikah, bernama Konuku Bulawa. Menurut keterangan Wa Tompa Mata, adiknya lebih cantik dari darinya. Wa Tompa Mata kemudian mengajak Sawerigading untuk berkunjung ke rumahnya besok pagi. Dia akan mengajak adiknya tersebut untuk duduk di beranda rumah saat Sawerigading datang. Mendengar perkataan Wa Tompa Mata itu, Sawerigading melepaskan tangan Wa Tompa Mata, lalu Wa Tompa Mata pulang.

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Wa Tompa Mata datang berkunjung ke rumah Konuku Bulawa. Ia mengajak adiknya duduk sambil dicarikan kutunya (meungkei) di beranda depan rumah. Mereka duduk dengan cara membelakangi tangga rumah.Tiba-tiba ada pria yang memeluk Konuku Bulawa dari belakang, pria itu adalah Sawerigading. Konuku Bulawa berkata: “jangan peluk saya”. Suara bapak saya lebih keras dari halilintar membelah bumi”. Sawerigading menjawab: “tidak apa, semua kemauannya saya akui”.

Pada waktu orang tua Wa Konuku Bulawa tiba, ia tak dapat berbuat apa-apa karena anaknya telah malu (dipeluk). Satu-satunya jalan mereka harus dinikahkan. Ayah Konuku Bulawa bernama Rakyampande berkata: “engkau boleh saya nikahkan, tetapi tidak dibenarkan untuk menjadi sangia di daratan Tanjung Goram ini”. Sawerigading setuju lalu ia dinikahkan dengan Konuku Bulawa.

Selesai dinikahkan Sawerigading bersama istrinya (Konuku Bulawa) diantar ke daerah seberang untuk menjadi sangia di sana (Lemo-Lemo). Saat menjadi sangia di Lemo-Lemo, Sawerigading merampas Wa Ode Kotawo istri dari Sila Pata Alamu di Ngapa Ea. Karena kejadian itu, pada sebuah tanjung di bagian barat kampung Langere (Desa Koepisino), Sawerigading dibunuh oleh Sila Pata Alamu. Sampai sekarang tanjung tempat Sawerigading dibunuh diberi nama Kaimate (saat ia meninggal). Sedangkan para pendayung yang ikut Sawerigading sampai sekarang belum pulang ke negeri asalnya, Bugis. Mereka masih menunggu Sawerigading untuk pulang bersama-sama. Mereka inilah yang saat ini dikenal sebagai Orang Bajo yang ada di Kulisusu.

Dari cerita di atas, tampak jelas bagaimana tokoh Sawerigading--seorang tokoh dalam epos I Lagaligo pada kebudayaan Bugis--hadir dalam kebudayaan (tradisi tutur) orang Kulisusu. Hal ini dapat dilihat sebagai upaya orang Kulisusu dalam menarik hubungan kultural dengan kebudayaan dominan, kebudayaan Bugis melalui tokoh epos Sawerigading. Gibson (2009) menyebut keterkaitan semacam ini sebagai pertukaran pengetahuan simbolik yang berlangsung ditingkat regional, sehingga beberapa mitos dan ritual-ritual saling mempengaruhi satu sama lain. Tapi, jika dianalisis lebih jauh, pertukaran pengatahuan simbolik seperti ini mengandung jejak-jejak relasi kekuasaan. Dalam kisah kedatangan Sawerigading di Kulisusu di atas, terlihat jelas Sawerigading dicitrakan sebagai manusia yang memiliki kesaktian (bila penduduk turun ke laut pada siang atau malam hari dengan jumlah ganjil, maka salah seorang penduduk akan menghilang, tak diketahui kemana perginya). Penggambaran kesaktian Sawerigading dan penggambaran dirinya sebagai putra raja Bugis dalam cerita di atas pada sasarnya merepresentasikan budaya tinggi atau dominan yang berasal dari Bugis. Hal ini juga terlihat jelas dalam saat Sawerigading membongkar penyamaran Wa Tompa Mata yang datang menemuinya dan pada saat Sawerigading langsung memeluk Konuku Bulawa (kuku emas) tanpa peduli dengan kesaktian orang tua Konuku Bulawa, Rakyampande. Selain itu, ketika Sawerigading diksahkan merebut Wa Ode Kotawo istri Sila Pata Alamu di Ngapa Ea. Di sini sisi-sisi maskulinitas begitu ditonjolkan dalam cerita yang menggambarkan dominannya kebudayaan Bugis.


Tapi, di tangan penutur (orang Kulisusu) kekuasaan Sawerigading ini segera di atasi atau pengetahuan simbolik dapat direkayasa. Hal ini tampak dalam cerita di atas ketika Sawerigading telah menikahi Konuku Bulawa--putri Rakyampande dan adik Wa Tompa Mata--tidak diberi kewenangan untuk menjadi sangia di tempat itu dan Sawerigading menerima begitu saja ketentuan itu tanpa protes. Artinya, kekuasaan Sawerigading dapat diatasi atau telah dapat dinegosiasikan oleh Rakyampande. Namun, dapat di atasi saja tidaklah cukup. Kekuasaan Sawerigading benar-benar dilumpuhkan ketika Sila Pata Alamu dapat membunuhnya di sebuah tanjung yang disebut Keimate. Hal ini dengan jelas menggambarkan bagaimana orang Kulisusu membangun precendence dengan cara mengaitkan dirinya pada tokoh Sawerigading putra raja Bugis yang sakti tetapi kesaktian dan kekuasaannya dapat diatasi dan dilenyapkan oleh orang Kulisusu. Artinya, simbol kebudayaan Bugis sebagai kebudayaan dominan dapat ditaklukan oleh orang Kulisusu. Sementara itu, keberadaan orang Bajo di Kulisusu dan bukit Keimate merupakan komponen material sebagai pendukung utama (constituent) kebenaran cerita itu. Gibson (2012) menyebut hal semacam ini sebagai “manipulasi ideologis” atau manipulasi “kompleks simbolik” yang diterima dari kebudayaan lain. Tapi, dalam konteks cerita kedatangan Sawerigading di atas, manipulasi ideologis dilakukan bukan dalam upaya memaksimalkan kekuasaan pada ranah politik seperti yang ditekankan oleh Gibson dalam penelitiannya di Ara Sulawesi Selatan, melainkan sebagai upaya orang Kulisusu memaksimalkan kuasa dan posisinya dalam ruang kultural.  

1 komentar:

  1. Terima Kasih, setelah saya membaca Kisah ini memang sangat bagus, untuk informasi aneka Tenda bisa klik di: Tenda Stand Murah

    BalasHapus

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com