Aku dan nilai perjuangan dasar

Tulisan ini pada awalnya adalah catatan kecil saya saat bergulat dengan pemikiran Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP) di Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Gorontalo pada periode waktu 2006-2010. Catatan kecil itu kemudian saya tuliskan sebagai catatan pengantar saat saya berencana menulis buku tentang: "Menyoal Epistemologi Nilai-Nilai Dasar Perjuangan". Walau dengan ide sederhana, naskah buku itu berhasil saya rampungkan dalam waktu 2 bulan, dan wal hasil tidak jadi terbit karena persoalan budget yang kurang. Ditambah lagi saya akhirnya menjadi kurang percaya diri untuk menerbitkannya

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Senin, 30 Mei 2016

Petani di Bawah Bayang-Bayang Militer: Dinamika Sosial dalam Pelaksanaan Program Percetakan Sawah




Baru seminggu saya bersama petani di Sulawesi Tengah, keluhan yang sama sudah memenuhi kepala saya. Keluhan mereka bukan karena perhatian pemerintah yang kurang pada petani. Keluhan mereka adalah soal pelaksanaan proyek percetakan sawah yang tidak terencana dan sering putus di tengah jalan ---proyek berhenti saat lahan petani sudah dibongkar sedemikian rupa, ditinggalkan begitu saja tanpa kejelasan dan tanpa sistem irigasi. Hal ini tentu merugikan petani, belum lagi mereka sering dimintai bayaran untuk biaya kelebihan jam kereja saat pembongkaran lahan (alihfungsi lahan dari lahan perkebunan menjadi sawah). Ironisnya, pelaksana proyek percetakan sawah yang demikian itu pada umunya adalah dari pihak militer.

Model pelaksanaan proyek ini telah menjelma sebagai ingatan kolektif petani di wilayah ini. Kejadian yang tak lagi diharapkan menimpa mereka, lantas mereka menaruh curiga pada setiap proyek yang berbau percetakan sawah. Hanya saja mereka bungkam, tak bersuara lantang ke atas, dan membiarkan ketimpangan ini hidup dalam ingatan yang menjadi kekhawatiran mereka. Jika sebagian mantan jendral saat ini sedang mengkhawatirkan kebangkitan kembali PKI dan paham-pahamnya, petani di sini sedang mengkhawtirkan rezim militer yang mengurusi hajat hidup mereka, sebagai pelaksana proyek percetakan sawah.

***

Siang itu tiba-tiba saja seorang tentara mendatangi saya, kata seorang petani sebut saja namanya Pak Irawan. Pak Irawan adalah ketua salah satu kelompok tani di desanya yang cukup disegani dan disenangi karena kejujurannya. Tentara itu datang menyuruhnya untuk mengambil gambar lahan yang ingin dicetak jadi sawah. Tentara itu mendesaknya sebab katanya gambar harus dikirim soreh ini juga. Sebagai ketua kelompok tani yang jujur, Pak Irawan tak mau mengambil resiko, buakannya ia menolak perintah dari tentara itu, tapi Pak Irawan mau terlebih dahulu bermusyawarah dengan anggota kelompoknya. “tidak bisa pengambilan gambar dilakukan besok saja pak, sebab saya harus bicarakan dulu dengan anggota kelompok saya” pungkas Pak Irwan. Tapi tentara itu memaksa. “tidak bisa, karena data harus dikirim soreh ini juga” kata tentara itu sebagaimana dikenang oleh Pak Irawan.

Mengingat kejadian pahit program percetakan sawah yang kerap menimpa petani di daerah itu, Pak Irawan tidak mau ambil resiko. Ia dengan tegas menolak permintaan tentara itu: “kalau begitu saya tidak mau, saya tidak berani ambil resiko pak. Kalau ada apa-apa saya sebagai ketua kelompok tani harus bertanggung jawab” tegas Pak Irawan. Tentara itu akhirnya menyerah dan pergi tanpa membawa data. Demikian Pak Irawan mengenang kejadian itu yang katanya terjadi setahun lalu. Di akhir ceritanya itu, Pak Irawan berkata: “saya tidak mau kejadian seperti yang menimpa desa tetangga menimpa kelompok tani kami di sini”. “Kejadian seperti apa itu Pak?”, tanyaku. Pak Irawan menjelaskan: “di desa tetangga yang menerima program percetakan sawa mengalami banyak kerugian”. “kerugian apa Pak?”, tanyaku lagi. “lahan perkebunan mereka yang masih berisi kelapa dan coklat dibongkar dengan menggunakan alat berat untuk dijadikan sawah, tapi setelah dibongkar tumpukan tanaman tadi dibiarkan berserahkan begitu saja dan untuk membersihkan tumpukan itu, petani dimintai bayaran oleh kontrkator dengan alasan kelebihan jam kerja dan biayanya tidak diatur dalam RAB”. Pak Irawan berhenti sejenak, lalu lanjut berkata: “setelah lahan petani petani dibongkar dan dimintai bayaran, kontrktornya menghilang”. “Siapa kontraktornya Pak?” tanyaku memperjelas. “ya siapa lagi kalau bukan tentara pak”. Kata Pak Irawan.

Ceritra Pak Irawan yang saya sajikan di atas hanyalah sekeping kecil dari semesta realitas kehidupan petani yang kompleks di daerah ini. Tapi walau cuma kepingan kecil realitas, ceritra Pak Irawan di atas memberikan kita gambaran tentang adanya kekhawatiran petani dalam pelaksanaan proyek percetakan sawah. Di desa lainnya saya juga menemukan cerita yang sama. Bahkan saat ditanya kenapa tidak melaporkan ke pemerintah terkait, mereka dengan tegas bilang “susah pak melawan tembok”. Petani di tempat ini lebih memilih bekerja di kebun atau di sawah daripada waktunya digunakan untuk berurusan setengah hari melaporkan. Alih-alih menghabiskan waktu demi berurusan dengan laporan dan segala tetek bengeknya, petani didaerah ini lebih memilih memanfaatkan waktu untuk bekerja. Apalagi yang mau mereka laporkan adalah unsur TNI itu lebih mustahil lagi bagi mereka. Jadi jelas sekali program percetakan sawah di daerah ini ada dalam dibayang-bayang rezim militer.

***

Kenapa harus dari unsur militer yang ditunjuk untuk menjadi kontraktor proyek percetakan sawah ini? Demikian tanya yang menggantung. Saya tak tertarik mencari jawabannya pada alasan-alasan yang sifanya birokratis dan legal-formal (meminjam istilah Weber). Saya lebih tertarik berselancar mencari jawaban yang bergelantung dalam dunia sosial, saya lebih tertantang mengarungi jejak-jejak kehidupan sosial lalu memeriksa detail-detail hubungannya satu sama lain. Dengan cara itu penjelasan akan lebih berdasar pada realitas sosial yang berbeda dengan memeriksa dalam konteks legal-formal yang hanya membawa kita pada akhir sesuai dan tidaknya antara praktek dan regulasi yang ada.

Untuk menjawab pertanyaan di atas, saya butuh informasi lain yang bukan dari petani supaya informasi yang saya peroleh berimbang. Beruntung saya punya seorang sahabat baik yang sudah berjumpalitan dengan persoalan petani. Ia menjelaskan pada saya bahwa petani di sini juga cukup “rewel”. Bila kontraktor proyek percetakan sawah ini adalah pengusaha biasa, proyek juga terancam gagal. Kebanyakan yang terjadi jika kontraktornya adalah pengusaha biasa, baru mulai masuk alat berat petani sudah ribut menuntut banyak hal pada kontraktor. Apalagi bila lahannya dilewati alat berat itu sedikit saja, maka petani akan menuntut kontraktor. Tapi jika kontraktornya adalah tentara, mereka tidak bisa melawan. Oleh sebab itu, tentara kerap ditunjuk sebagai pelaksana proyek percetakan sawah. Selain itu, hal ini berkaitan dengan koteks politik-ekonomi, di mana program percetakan sawah sudah menjadi domain kegiatan TNI.

 Penjelasan teman saya di atas seturut dengan cerita seorang petani yang saya jumpai. Petani itu berkisah tentang pengalaman seorang kontraktor (pengusaha biasa) sebut saja namanya H. Anwar. Saat itu proyek yang dikerjakan H. Anwar bermaksud untuk memperluas sawa dengan cara menimbun beberapa bagian lahan yang tidak rata. Namun saat beberapa meter melakukan penimbunan, sekelompok petani datang menghadang alat berat itu. Petani menuntut H. Anwar untuk bertanggungjawab sebab penimbunan sawah itu merusak tanaman padi petani yang baru muncul (baca: tumbuh). Menurut cerita petani tadi, kegiatan penimbunan ini menutup padi yang baru tumbuh seluas 5 meter pada masing-masing sawah yang dilewati kiri dan kanan. Penghadangan ini menyebabkan proyek percetakan sawah yang dilaksanakan oleh H. Anwar terhambat sampai sekarang.

***

Tania Murray Li dalam bukunya The Will to Improve menjalaskan bahwa ada relasi kuasa antara pembuat dan pelaksana program dengan masyarakat sebagai sasaran program. Bahwa masing-masing pihak terlibat dalam relasi strategis di mana masing-masing mengembangkan kalkulasi budaya maupun kalkulasi ekonomis untuk berhadapan dengan pihak lainnya. Setiap program tidak pernah secara utuh memenuhi kepentingan masyarakat yang bergerak dinamis. Karena itu, tania menyebut masyarakat dengan sebutan “mahluk-mahluk rewel” yang mengandung pengertian bahwa masyarakat bukanlah subjek yang diam dan menerima begitu saja program dari atas. Masyarakat adalah subjek yang aktif dengan segala kompleksitas kepentingannya. Dengan kata lain, kehendak untuk memperbaiki dalam wujud program-program pemerintah tidak selalu sejalan kepentingan dan keinginan pihan yang ingin diperbaiki. Selalu ada celah interupsi dari bawah sebagai bentuk negosiasi kepentingan-kepentingan yang silang sengkarut di tengah-tengah masyarakat. Ada relasi kuasa ala Foucaldian yang berlaku di sini, di mana kekuasaan itu dipandang selalu sejalan dengan perlawanannya ibarat dua gambar dalam satu keeping uang logam yang sama. Oleh sebab itu, konsep pembangunan itu tidak boleh dilihat sebagai sesuatu yang a politik melainkan sangat politis.

Tapi dalam konteks petani yang saya jelaskan di sini, “kerewelan” mereka dalam menghadapi program percetakan sawah dari pemerintah dibungkam oleh kuasa TNI. Relasi kuasa menjadi timpang sehingga jika dipinjam analisis Foucauldian bahwa relasi kuasa ada hanya jika kekuasaan di satu pihak hidup berbarengan dengan interupsi di lain pihak, maka dalam hubungan seperti ini (Petani-TNI) tidak terdapat lagi disebut sebagai relasi kekuasaan melainkan sebagai dominasi. Sebab satu pihak tak memiliki kemampuan menegosiasikan kepentingannya terhadap pihak lainnya dalam suatu hubungan sosial. Hal ini akhirnya menjadi sebuah ironi dalam program percetakan sawah, di satu sisi petani bungkam di bawah ketiak TNI dan di sisi lain petani terlalu agresif jika pelaksana program bukan dari unsur militer. Jadi sekali lagi pembangunan itu amat politis, ada kekuasaan, kepentingan dan ketimpangan relasi pihak-pihak terkait yang amat rumit untuk sekadar dijembatani.


   

Selasa, 10 Mei 2016

Mahasiswa, Aktivisme dan Imajinasi Pergerakan

Ilustrasi Masa Rakyat dalam Demokrasi

Seorang pemuda dengan gaya aktivis-mahasiwa ngehek tiba-tiba mendatangi kami di atas kapal kayu yang sedikit lagi akan bertolak ke Buton Utara dari Pelabuhan Kendari (Rute Kendari – Buton Utara – Wakatobi). Tanpa basa-basi pemuda itu langsung bertanya: “apa kalian beli tiket?” kami bilang “iya, kami beli tiket”. Lalu dengan percaya diri (eh, mungkin boleh dibilang sedikit menyombongkan diri) pemuda tadi bilang: “kalau saya naik kapal begini tidak pernah saya beli tiket, karena saya sangat tahu aturannya dan saya pernah berdebat dengan kapten kapal ini mengenai aturan itu, kaptennya tidak bisa berkutik, karena itu saya tidak pernah beli tiket” katanya. Ia berhenti sejenak dan melanjutkan lagi ucapannya: “kalau kapten dan ABK di sini semua takut sama saya, tidak ada yang tidak kenal saya di sini”.

Kira-kiran begitu persisnya sahabat saya mengenang pengalamannya di atas kapal itu. Cerita ini diungkit saat kami bercakap-cakap tentang lika-liku dunia kemahasiswaan. Sambil menyerumput saraba (minuman dari jahe) panas di sebuah warung pinggir laut, sahabat saya itu erkata: “pemuda yang ia temui di atas kapal itu adalah seorang demonstran atau aktivis-mahasiswa yang memang agak narsis. Ia sangat bangga dengan dirinya yang bisa berorasi mengangkat megaphone.”

Bagi saya ini adalah yang kesekian kalinya saya mendengar kisah serupa, kisah tentang aktivis demo. Kadang-kadang pula saya menyaksikan secara langsung atau mendengar langsung dari para mahasiwa yang menyebut bangga dirinya aktivis atau bangga mengisahkan dirinya pernah ikut demo. Di sebuah halaman kantor kecamatan di Buton Utara, saya pernah bertemu seorang aktivis demo yang sedang bercakap-cakap dengan temannya mengenai kongkalingkong dalam dunia pendidikan. Fokus pembicaraan mereka adalah soal bantuan-bantuan pendidikan yang tidak dikelola secara baik. Mereka bilang pemerintah dan penyelenggara pendidikan justru terkesan hanya mencari untung dari bantuan-bantuan itu.

Awalnya saya cuman mendengarkan perbincangan mereka, namun akhirnya saya sedikit menimpali. Saya bilang begini: “agak susah memang di lawan jika para politisi dan pemerintah bersetubuh dengan penyelenggara pendidikan yang berwatak kapitalis. Apalagi politisi bersetubuh dengan pengusaha, itu sudah lazim terjadi di negeri ini. Mata rantai hubungan mereka susah diputuskan”. Aktivis demo itu lantas menjawab dengan enteng: “kita demo saja itu selesai urusan. Pemerintah sekarang tidak boleh macam-macam”, katanya. Mendengar ucapan itu saya cukup diam saja. Saya sebenarnya sedang berusaha memancing analisis kritis mereka, hanya saja semua tampak disederhanakan dengan demo.

 Pengalaman saya yang lain adalah saat mengikuti acara “ngumpul-ngumpul” dengan para mahasiswa di Kendari Beach. Tiba-tiba datang seorang pemuda dengan potongan rambut gobel (gondrong belakang). Ia begitu dihargai dan di sapa dengan panggilan “abang” lalu mereka berjabat tangan dengan sedikit membungkukkan badan tanda hormat. Saya hanya berpikir mungkin dia ini adalah senior mereka yang cerdas dan sangat dihormati. Tapi saat teman-teman menyebut namanya saya tidak terlalu mengenalnya, saya hanya tahu dia adik salah satu teman saya yang konon kabarnya sering pimpin demo. Memori saya akhirnya mengingat satu momen di mana pernah melihatnya di atas mobil sambil berorasi. Oh, mungkin karena ini ia dihormati, pikirku. Saya akhirnya lebih memilih ambil mic di meja lalu menyumbangkan sebuah lagu dari band kesukaan saya, Noah.

Keyakinan saya semakin menguat, saat gilirannya menyanyi, teman-teman lantas bicara padanya, “bang, bedakan ya antara mic dengan megaphone” lalu mereka tertawa. Saya berpikir, rupanya di sini demonstran amat dihargai serupa dewa pengetahuan, atau ia serupa mahasiwa yang telah mencapai titik ideal dalam sebuah kultur pendidikan. Kalau demikian maka kultur pendidikan di sini adalah identik dengan demo. Artinya mahasiswa ideal atau hebat itu adalah mahasiswa yang bisa demo walau malas baca buku.

Foto siluet seorang demonstran

Saat mengikuti diskusi di laman facebook dalam postingan bertema “organisasi kedaerahan” syarat hebat bagi mahasiswa ini pun muncul. Hal ini muncul dalam salah satu komentar yang mengkritik polemik antar mahasiswa dalam menggagas musyawarah pemilihan ketua. Kira-kira begini komentar itu: “baru satu kali angkat megaphone mereka sudah merasa hebat”. Artinya mahasiswa yang disebut hebat adalah mahasiswa yang sudah berkali-kali turun demo. Intinya adalah demo, titik. Hal ini cukup kontras dengan tempat-tempat lain yang pernah saya kunjungi, terutama di kampus-kampus besar di Indonesia syarat mahasiswa ideal itu justru adalah jumlah buku yang dibaca dan dikuasai, berapa karya yang sudah dihasilkan, dan kemampuan berdiskusi mengelaborasi bacaan-bacaan dan pengalaman hidup. Lantas apakah kampus dengan sayarat ideal semacam itu atau dengan kultur pendidikan seperti itu, mahasiswanya tidak mengenal demo atau tidak pernah berdemontasi?

Kenyataannya mereka juga mengenal demo. Saeorang sahabat saya masa kuliah adalah demonstran ulung, pernah berkali-kali mengangkat megaphone mulai dari jalanan sampai di depan institusi-institusi pemerintah. Tapi ia adalah pembaca ulung, garis perjuangannya jelas dan terarah, pilihan-pilihan katanya saat orasi begitu menghentak, tegas, dan bernas. Juga tokoh-tokoh filsuf sekaliber Michel Foucault dan Jean Paul-Sartre pernah turun ke jalan untuk berdemontrasi melawan rezim pemerintah yang timpang. Tapi bagi mereka demo tidak dijadikan sebagai arena aktualisasi diri a la Thomas Maslow. Demo tidak lebih sebagai media perjuangan untuk memperjuangkan pandang-pandangan mereka, sifat kritis mereka yang tercipta dari sebuah kultur intelektual yang kokoh.

Alih-alih sebagai arena unjuk gigi atau sebagai syarat ideal mahasiswa, demo justru harus ditempatkan sebagai salah satu media untuk melawan kekuasaan yang tindakannya tak dapat lagi ditolerir. Oleh sebab itu, aksi-demo merepresentasikan sikap dan pandangan politik kita. Yang berarti pula bahwa seorang demonstran haruslah seorang yang akrab dengan tradisi intelektual, memahami betul apa yang sedang dilawannya, kenapa ia melawan (sebab bertentangan dengan pandangan-pandangan politiknya), ia memiliki prinsip-prinsip ideologis yang konsisten yang terhubung dengan diskursus-diskursus yang lebih luas; ekonomi, politik dan kebudayaan. Karena itu, tak jarang demontsran-demonstran atau tokoh-tokoh pergerakan besar biasanya juga adalah seorang pembaca ulet, punya kemampuan teoritik mumpuni dan pandai menuangkan gagasan dalam tulisan. Mereka juga tak jarang mampu mendirikan sebuah komunitas, majalah atau jurnal yang sangat kental haluan politiknya. Tokoh-tokoh pergerakan seperti ini jelas memiliki tujuan besar dan bejangka panjang, oleh sebab itu mereka menyadari betul bahwa perjuangan mereka tidak cukup hanya berkoar-koar di jalanan, ada media-media perjuangan lain yang sifatnya kultural yang gaungnya lebih besar dan laten, yakni berjuang melalui tulisan. Tradisi seperti ini pada akhirnya berkontribusi bagi peran mahasiswa sebagai “civitas akademik”.

Tapi jika seorang demonstran berdemonstrasi hanya demi mencapai prestise sebagai seorang mahasiswa yang hebat, maka aras perjuangannya hanya sampai pada angkat megaphone saja. Mereka tak perlu mengenal jalur perjuangan lain, tak perlu membaca buku, tak perlu tahu ideologi dan pandangan politik apa, sebab angkat megaphone sudah cukup sebagai penanda bahwa mereka telah mencapai imajinasinya sebagai seorang aktivis dan mahasiswa hebat. Jika kita kembali pada cerita-cerita saya di awal tulisan ini, tampaknya model seperti ini yang banyak. Saya menemukan mereka begitu bangga dengan identitas sebagai seorang demonstran dan begitu bangga pula mengisahkan saat-saat mereka berdemonstrasi, tapi mereka tak pernah menjelaskan pandangan politik mereka apa. Menyebut satu buku pun tidak pernah. Paling banter yang mereka sebut adalah nama mata kuliahnya. Ini berbahaya!

Krisis Pendidikan Kita

Saya tadinya sudah berniat mengakhiri tulisan ini. Tapi terbesit diingatan saya bahwa problem yang saya utarakan di atas, sebenarnya juga adalah problem pendidikan kita. Bagaimana tidak, mahasiswa yang melupakan membaca dan menulis dan tenggelam dalam imajinasi pergerakan tidaklah berkontribusi apa-apa bagi peningkatan kualitas pendidikan kita. Bukannya saya menyalahkan demo sebagai biang keladinya, tapi sebagaimana uraian panjang lebar di atas, saya menyoroti motivasi dan praktik demo yang tidak lagi sekadar media perlawanan melainkan sudah menjadi citra ideal bagi para mahasiswa. Ia bukan lagi sekedar penanda perlawanan melainkan sudah membentuk basis makna tersendiri yang tak dapat dipisahkan dari eksistensi semahasiswa. “Aku demo maka aku ada” demo pada akhirnya berubah peran dari media menjadi tujuan karena di sanalah klaim mahasiswa ideal disematkan. Tapi, kita lupa bahwa arus kekuatan dibidang politik, ekonomi dan kebudayaan dengan skala besar tengah menerpa bangsa kita, sementara kita miskin analisa dan masih berkutat pada aktivisme dan imajinasi pergerakan yang narsis yang justru tidak tanggap terhadap soal-soal yang lebih besar itu.

Untuk meneruskan uraian ini sedikit saya paparkan data oleh Ariel Heryanto di jurnal online, Indoprogress.com. Menurut Ariel perkembangan pendidikan kita di Indonesia cukup terbelakang terutama dalam kajian ilmu sosial dan ilmu-ilmu humaniora. Untuk menegaskan pendapat itu, Ariel mengutip hasil riset yang dilakukan oleh Evers dan Gerke tentang pertumbuhan penelitian di Asia Tenggara khususnya ilmu-ilmu sosial dan budaya yang terbit di jurnal internasional berbahasa Inggris yang sudah melalui proses penyaringan di kalangan ahli sebidang (peer review). Sekalipun data ini adalah data lama, tapi bagi Ariel Heryanto hal ini masih berlaku sampai sekarang. Kedua peneliti ini menemukan di antara tahun 1970 hingga 2000 terjadi peningkatan jumlah karya ilmiah di bidang ilmu sosial dan humaniora sekitar tujuh kali lipat yang ditulis oleh peneliti asing, dan hanya tiga kali lipat oleh peneliti di kawasan Asia Tenggara sendiri. Itu pun peningkatan tiga kali lipat ini tidak tersebar secara merata di berbagai Negara Asia Tenggara.

Dari segi persentase jumlah topik yang dibicarakan, topik yang berbicara tentang Indonesia menempati urutan ketiga, tapi para peneliti Indonesia dinilai menghasilkan karya paling rendah tentang negeri sendiri di bandingkan dengan lima Negara anggota ASEAN lainnya. Skor karya ilmiah tentang Indonesia yang ditulis oleh peneliti Indonesia sendiri adalah sebesar 7,1%. Sedangkan Singapore (53,5%), Brunei (35,7%), Malaysia yang dulu belajar di Indonesia (25,1%), Filipina (24,1%), dan Thailand (18,8%). Selain itu, menurut Heryanto sepeti ia kutip dari harian Kompas, 2009, bila dihitung secara lebih makro, Indonesia hanya bisa menghasilkan 0,87 artikel ilmiah per sejuta penduduk Indonesia. Sementara Malaysia mencapai 21,30 artikel ilmiah persejuta penduduk dan India mencapai 12, 00 artikel ilmiah per sejuta penduduk.

Dari paparan data yang tentu masih bisa diperdebatkan di atas, tergambar betapa minimnya karya ilmiah mumpuni yang kita hasilkan. Karena itu, rasanya kit ita perlu merefleksi motivasi dan kultur kampus yang membesarkan kita. Jumlah mahasiswa pertahun yang terus meningkat pesat dengan berbagai jurusan yang digelutinya, rupanya tidak berbanding lurus dengan karya ilmiah yang dihasilkan. Dari pengalaman saya bersentuhan dengan para mahasiswa khusunya mahasiswa di daerah, jarang mahasiswa −−yang saya temui dan kunjungi di tempat tinggalnya−− yang memiliki tumpukan buku bacaan atau minimal pernah menulis di salah satu media. Paling-paling hanya satu dua orang saja jika ada. Bahkan ada  mahasiswa yang saya temukan yang menyebut diri sebagai aktivis-mahasiswa, seorang organisatoris berpengalaman, demonstran ulung yang disegani di sebuah kota metropolitan, tapi menulis status di laman facebook-nya saja tidak jelas. Ia tidak tahu cara menempatkan tanda baca hingga tulisannya itu susah kita identifikasi sebagai sebuh kalimat yang utuh. Sekali pun demikian banyak orang yang menyanjungnya. Inilah realitas pendidikan kita yang justru menyimpang dari tujuan pendidikan, mencerdaskan kehidupan bangsa. Tapi yang ada malah kita merasa cerdas di tengah-tenga orang bodoh dan yang ada kita malah menyanjung-nyanjung kebodohan kita sendiri yang nyata.

***


Kita mestinya sadar bahwa melawan tak selamnya harus bersuara melalui megaphone. Kita mestinya tahu itu hanya media untuk menyampaikan aspirasi dan bukan menjadikannya tujuan apalagi simbol kecerdasan seorang mahasiswa. Yang penting adalah gagasan apa yang kita perjuangkan dan bagaiaman gagasan itu diperas dari kultur akademik yang kritis, holistik, konsisten dan jelas prinsip-prinsipnya. Kita juga bisa melawan melalui jalur kultural, yakni melalui tulisan: buku, puisi, cerpen dan novel yang mengugah kesadaran kritis. Dengan begitu maka aktivisme yang kita kembangkan adalah aktivisme yang mencerdaskan, aktivisme yang akademis, dan bukan aktivisme narsis yang jarang membaca dan menulis.[]

Buton Utara, 10 Mei 2016
luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com