Aku dan nilai perjuangan dasar

Tulisan ini pada awalnya adalah catatan kecil saya saat bergulat dengan pemikiran Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP) di Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Gorontalo pada periode waktu 2006-2010. Catatan kecil itu kemudian saya tuliskan sebagai catatan pengantar saat saya berencana menulis buku tentang: "Menyoal Epistemologi Nilai-Nilai Dasar Perjuangan". Walau dengan ide sederhana, naskah buku itu berhasil saya rampungkan dalam waktu 2 bulan, dan wal hasil tidak jadi terbit karena persoalan budget yang kurang. Ditambah lagi saya akhirnya menjadi kurang percaya diri untuk menerbitkannya

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Selasa, 27 Desember 2016

Kisah Sawerigadding dalam Kebudayaan Orang Kulisusu

Ilustrasi Sawerigadding


Berikut ini akan diceritakan kedatangan Sawerigading di Kulisusu menurut tradisi lisan orang Kulisusu. Cerita ini tidak secara langsung berkaitan dengan asal-usul genealogis orang Kulisusu, bukan pula ceritra sejarah yang benar-benar pernah terjadi di masa lampau. Cerita ini merupakan cerita rakyat yang dapat ditafsirkan sebagai upaya orang Kulisusu membangun diskursus kekuasaan dalam ruang kultural. Sawerigading sang tokoh dalam epos I Lagaligo dalam tradisi lisan orang Kulisusu dipahami sebagai pendatang yang datang ke Kulisusu setelah wilayah Kulisusu sudah dihuni oleh manusia. Menurut cerita orang Kulisusu, Sawerigading ini datang dengan dikawal sekelompok orang Bajo yang kemudian menetap dan mendirikan perkampungan Bajo di Kulisusu. Keberadaan perkampungan Bajo ini bagi orang Kulisusu menjadi fakta material yang dijadikan sebagai pendukung kebenaran cerita kedatangan Sawerigading ini.

Jaadi menceritakan bahwa Sawerigading adalah seorang pria yang gagah dan berani berkulit putih kuning serupa warna batang bulu (bambu) di bagian atas buku-buku (gadhi-gadhino surabhi). Karena kulitnya yang menyerupai gadhi-gadhino surabhi tersebut, maka pria itu diberi nama Sawerigading. Beliau adalah putera Raja Bugis yang merantau sampai di negeri Cina dengan tujuan mencari wanita cantik, yang dapat sepadang dengan keindahannya. Sekembali dari negeri Cina Sawirigading bertanya pada orang tuanya: “adakah negeri yang bernama kulisusu ayah?” Ayahnya menjawab: “ada; di Utara Pulau Buton bagian Timur”. “Saya akan ke Kulisusu ayah”, begitu kata Sawirigading. Ayahnya berkata: “kalau anak mau ke Kulisusu, tebang saja mangga di halaman rumah lalu jadikan sampan untuk tumpanganmu.” Sawerigading kemudian menebang pohon mangga itu dan dijadikan sampan.

Selesai membuat sampan, Sawirigading memanggil 40 orang Suku Bajo sebagai tenaga pendayung, lalu mereka berlayar menuju Kulisusu. Dalam pelayaran dari teluk Bone menuju ke Kulisusu, banyak tenaga pendayung yang kehabisan tenaga. Sehingga, setiap tenaga pendayung sudah tidak mampu akan diturunkan ke daratan terdekat. Itulah sebabnya sehingga banyak perkampungan Suku Bajo dari teluk Bone ke Kulisusu (utamanya Tiworo Kepulauan).

Tiba di pasi Boneo, perahu Sawerigading berlabuh. Sawirigading dan para pendayung tidak langsung naik ke darat demikian juga penduduk di darat tidak turun menjemput. Semenjak perahu Sawirigading berlabuh di pasi Boneo penduduk di darat merasakan suatu musibah, yaitu bila penduduk turun ke laut dengan jumlah ganjil, maka salah seorang akan menghilang, tak diketahui kemana perginya. Bila penduduk di darat turun ke laut dengan jumlah genap maka semua akan selamat. Dengan ketentuan waktu terjadinya peristiwa sebagai berikut:
a.   Genap atau ganjil manusia yang turun ke laut dari tanjung Goram sampai Wacu Ea dari terbit sampai terbenam matahari (siang hari)
b.   Genap atau ganjil manusia yang turun ke laut dari Tanjung Goram sampai Wacu Ea, dari terbenam samapi terbit matahari (malam hari).

Karena kejadian tersebut, seorang perempuan pribumi bernama Wa Tompa Mata meramalkan bahwa pemilik perahu yang berlabuh adalah seorang manusia yang sedang mencari pasangan hidup. Wa Tompa Mata ingin mengetahui siapa nama juragan perahu itu. Wa Tompa Mata kemudian turun ke perahu Sawerigading dengan menyamar sebagai laki-laki. Di perahu tersebut, Wa Tompa Mata berbicara dengan Sawirigading sebagai seorang pria. Tapi kemudian, timbul kecurigaan Sawirigading dan berkata: “engkau ini bukan seorang pria, melainkan seorang wanita”. Wa Tompa Mata menjawab: “masa seorang wanita akan turun menjemput tamu dari negeri lain di pelabuhan, saya adalah seorang pria”, kata Wa Tompa Mata.

Semua alasan Wa Tompa Mata tidak dipercaya oleh Sawirigading. Ia kemudian memegang kedua tangan Wa Tompa Mata sampai Wa Tompa Mata mengakui dirinya seorang perempuan, tetapi ia telah bersuami. Saat itu juga Wa Tompa Mata mengatakan ia mempunyai seorang adik perempuan yang belum menikah, bernama Konuku Bulawa. Menurut keterangan Wa Tompa Mata, adiknya lebih cantik dari darinya. Wa Tompa Mata kemudian mengajak Sawerigading untuk berkunjung ke rumahnya besok pagi. Dia akan mengajak adiknya tersebut untuk duduk di beranda rumah saat Sawerigading datang. Mendengar perkataan Wa Tompa Mata itu, Sawerigading melepaskan tangan Wa Tompa Mata, lalu Wa Tompa Mata pulang.

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Wa Tompa Mata datang berkunjung ke rumah Konuku Bulawa. Ia mengajak adiknya duduk sambil dicarikan kutunya (meungkei) di beranda depan rumah. Mereka duduk dengan cara membelakangi tangga rumah.Tiba-tiba ada pria yang memeluk Konuku Bulawa dari belakang, pria itu adalah Sawerigading. Konuku Bulawa berkata: “jangan peluk saya”. Suara bapak saya lebih keras dari halilintar membelah bumi”. Sawerigading menjawab: “tidak apa, semua kemauannya saya akui”.

Pada waktu orang tua Wa Konuku Bulawa tiba, ia tak dapat berbuat apa-apa karena anaknya telah malu (dipeluk). Satu-satunya jalan mereka harus dinikahkan. Ayah Konuku Bulawa bernama Rakyampande berkata: “engkau boleh saya nikahkan, tetapi tidak dibenarkan untuk menjadi sangia di daratan Tanjung Goram ini”. Sawerigading setuju lalu ia dinikahkan dengan Konuku Bulawa.

Selesai dinikahkan Sawerigading bersama istrinya (Konuku Bulawa) diantar ke daerah seberang untuk menjadi sangia di sana (Lemo-Lemo). Saat menjadi sangia di Lemo-Lemo, Sawerigading merampas Wa Ode Kotawo istri dari Sila Pata Alamu di Ngapa Ea. Karena kejadian itu, pada sebuah tanjung di bagian barat kampung Langere (Desa Koepisino), Sawerigading dibunuh oleh Sila Pata Alamu. Sampai sekarang tanjung tempat Sawerigading dibunuh diberi nama Kaimate (saat ia meninggal). Sedangkan para pendayung yang ikut Sawerigading sampai sekarang belum pulang ke negeri asalnya, Bugis. Mereka masih menunggu Sawerigading untuk pulang bersama-sama. Mereka inilah yang saat ini dikenal sebagai Orang Bajo yang ada di Kulisusu.

Dari cerita di atas, tampak jelas bagaimana tokoh Sawerigading--seorang tokoh dalam epos I Lagaligo pada kebudayaan Bugis--hadir dalam kebudayaan (tradisi tutur) orang Kulisusu. Hal ini dapat dilihat sebagai upaya orang Kulisusu dalam menarik hubungan kultural dengan kebudayaan dominan, kebudayaan Bugis melalui tokoh epos Sawerigading. Gibson (2009) menyebut keterkaitan semacam ini sebagai pertukaran pengetahuan simbolik yang berlangsung ditingkat regional, sehingga beberapa mitos dan ritual-ritual saling mempengaruhi satu sama lain. Tapi, jika dianalisis lebih jauh, pertukaran pengatahuan simbolik seperti ini mengandung jejak-jejak relasi kekuasaan. Dalam kisah kedatangan Sawerigading di Kulisusu di atas, terlihat jelas Sawerigading dicitrakan sebagai manusia yang memiliki kesaktian (bila penduduk turun ke laut pada siang atau malam hari dengan jumlah ganjil, maka salah seorang penduduk akan menghilang, tak diketahui kemana perginya). Penggambaran kesaktian Sawerigading dan penggambaran dirinya sebagai putra raja Bugis dalam cerita di atas pada sasarnya merepresentasikan budaya tinggi atau dominan yang berasal dari Bugis. Hal ini juga terlihat jelas dalam saat Sawerigading membongkar penyamaran Wa Tompa Mata yang datang menemuinya dan pada saat Sawerigading langsung memeluk Konuku Bulawa (kuku emas) tanpa peduli dengan kesaktian orang tua Konuku Bulawa, Rakyampande. Selain itu, ketika Sawerigading diksahkan merebut Wa Ode Kotawo istri Sila Pata Alamu di Ngapa Ea. Di sini sisi-sisi maskulinitas begitu ditonjolkan dalam cerita yang menggambarkan dominannya kebudayaan Bugis.


Tapi, di tangan penutur (orang Kulisusu) kekuasaan Sawerigading ini segera di atasi atau pengetahuan simbolik dapat direkayasa. Hal ini tampak dalam cerita di atas ketika Sawerigading telah menikahi Konuku Bulawa--putri Rakyampande dan adik Wa Tompa Mata--tidak diberi kewenangan untuk menjadi sangia di tempat itu dan Sawerigading menerima begitu saja ketentuan itu tanpa protes. Artinya, kekuasaan Sawerigading dapat diatasi atau telah dapat dinegosiasikan oleh Rakyampande. Namun, dapat di atasi saja tidaklah cukup. Kekuasaan Sawerigading benar-benar dilumpuhkan ketika Sila Pata Alamu dapat membunuhnya di sebuah tanjung yang disebut Keimate. Hal ini dengan jelas menggambarkan bagaimana orang Kulisusu membangun precendence dengan cara mengaitkan dirinya pada tokoh Sawerigading putra raja Bugis yang sakti tetapi kesaktian dan kekuasaannya dapat diatasi dan dilenyapkan oleh orang Kulisusu. Artinya, simbol kebudayaan Bugis sebagai kebudayaan dominan dapat ditaklukan oleh orang Kulisusu. Sementara itu, keberadaan orang Bajo di Kulisusu dan bukit Keimate merupakan komponen material sebagai pendukung utama (constituent) kebenaran cerita itu. Gibson (2012) menyebut hal semacam ini sebagai “manipulasi ideologis” atau manipulasi “kompleks simbolik” yang diterima dari kebudayaan lain. Tapi, dalam konteks cerita kedatangan Sawerigading di atas, manipulasi ideologis dilakukan bukan dalam upaya memaksimalkan kekuasaan pada ranah politik seperti yang ditekankan oleh Gibson dalam penelitiannya di Ara Sulawesi Selatan, melainkan sebagai upaya orang Kulisusu memaksimalkan kuasa dan posisinya dalam ruang kultural.  

Rabu, 21 Desember 2016

Antara Senior dan Junior: Kisah Inspiratif di Tengah Perlombaan Lari Marathon

Daasiri dan Boy Firman pelari muda asal Bajo kecamatan Kulisusu. Foto ini diambil sesaat setelah
pertandingan selesai

Semua tempat adalah tempat belajar, semua orang dan semua peristiwa adalah guru bagi kehidupan kita. Begitu kira-kira kalimat bijak yang layak direnungi. Beberapa orang mungkin saja menganggap satu-satunya tempat belajar yang baik adalah lembaga pendidikan--baik sekolah maupun perguruan tinggi; satu-satunya guru yang paling baik adalah orang-orang yang titelnya berjubel di depan dan belakang namanya atau orang yang sudah menulis lusinan buku, dan satu-satunya peristiwa yang menginspirasi adalah peristiwa heroik di medan tempur dan kisah-kisah orang besar yang meniti karir dari bawah. Semua anggapan itu tak sepenuhnya benar, di semua tempat terhampar luas pelajaran, pada diri semua orang terkandung pengalaman hidup yang layak diserap, dan pada semua peristiwa terkandung pelajaran berharga bagi mereka yang mau mengambil pelajaran.

Seperti kisah pria berikut ini yang sangat inspiratif, bukan karena besarnya capaian hidupnya tapi karena kebesaran jiwa dan tindakannya.

***

Pria itu bernama lengkap Daasiri atau lebih dikenal dengan nama panggilan La Daa. Ia bukan sosok orang berpendidikan tinggi, bukan orang besar dan bukan pula orang sukses atau sejenisnya. Kehidupannya sederhana, ia hanya dikenal sebagai pemburu tradisional, penangkap kepiting dan belakangan baru ditahu berbakat sebagai pelari marathon. Sayang usianya sudah tak muda lagi, hingga karirnya berhenti di tingkat kabupaten provinsi setempat saja.

Ia diketahui sebagai pelari marathon di usia menjelang 40 tahun. Itupun baru mewakili desa pada perlmbaan lari marathon tingkat kecamatan. Menurut pengakuannya, di awal-awal ia mengikuti pertandingan lari marathon ia hanya mendapat juara ketiga sebab ia belum tahu tekniknya, belum berpengalaman. Kedua kalinya ia ikut, ia sudah mendapat juara pertama pelari marathon tingkat kecamatan. Singkat cerita, sejak itu, tak ada pesaing yang mampu melawannya setiap kali ada perlombaan di tingkat kecamatan. Walau hanya di tingkat kecamatan, namanya sudah dikenal sebagai pelari marathon. Oleh sebab itu, pada beberapa event lari tingkat kabupaten (waktu itu masih Kabupaten Muna) ia sudah sering diikutkan.

Setelah kabupaten Buton Utara mekar dari kabupaten Muna, namanya sebagai pelari marathon tingkat kabupaten makin terdengar. Walaupun umurnya sudah semakin menua, tapi tetap susah dicari tandingannya. Pada usia 52 tahun ia masih sanggup berlari hingga jarak 40 Km tanpa berhenti dan selalu menjadi juara pertama (mewakili kecamatan Kulisusu Utara) di setiap pertandingan lari marathon pada Pekan Olahraga Kabupaten (PORKAB) Buton Utara. Oleh sebab itu, pada tahun 2014--saat kabupaten Buton Utara menjadi tuan rumah Pekan Olaharaga Provinsi (PORPROV) Sulawesi Tenggara--ia ditunjuk mewakili kabupaten Buton Utara di kejuaraan lari marathon putra 40 Km. Luar biasa hasilnya, ia masih mendapat urutan ketiga di antara pelari-pelari yang masih muda usianya.

“mungkin karena sudah faktor usia, lutut saya sakit hingga tidak bisa mengalahkan pelari dari kabupaten lain. Kalau soal nafas saya masih kuat”, ujarnya pada saya.

Pada acara PORKAB tahun 2016 baru-baru ini (tanggal 14-20 Desember 2016), ia masih dipilih sebagai pelari marathon mewakili kecamatan Kulisusu Utara. Kali ini nomor lari yang dipertandingkan adalah lari marathon 10 Km. Usianya sudah 54 tahun, dan ia masih bersedia menjadi pelari, kebetulan saya yang datang di rumahnya meminta kesediaannya.

“saya ini sudah tua, tapi biarlah saya turun tes-tes saja kemampuan lari saya”, ujarnya.

Sehari sebelum pertandingan (jadwal pertandingan 19 Desember 2016) ia masih sempat latihan berlari sejauh 10 Km. Itupun ia lakukan sepulang menjalani rutinitasnya, berburu babi hutan. Akibatnya, betis dan pahanya sakit-sakitan akibat jarang latihan. Dengan kondisi seperti itu, ia masih siap mengikuti pertandingan.

Keesokan hari, pagi-pagi buta ia sudah menunggu saya di depan rumah. Saya yang masih tidur pulas harus dibangunkan karena kewajiban harus mengantar turun bertanding. Setelah semua atlet lari terkumpul, kami turun bersama-sama menuju stadion Bukit Lamoliandu kabupaten Buton Utara. Tiba di sana, ia segera turun dari motor, seolah tak mau berdiam diri, ia langsung pemanasan dengan berlari tiga putaran mengelilingi stadion.

Kini pertandingan segera dimulai. Para atlet lari dari enam kecamatan di Buton Utara segera mengambil tempat (ada 12 orang pelari, setiap kecamatan diwakili 2 pelari). Melihat barisan itu, ia kini melawan pelari yang masih sangat muda dan terlihat kuat.. Aba-aba lari pun sudah terdengar dan mereka mulai berlari. Mereka harus berlari keliling stadion sebanya 25 kali putaran. Tapi, baru 10 kali putaran, satu persatu pelari berguguran, kecuali lima orang pelari termasuk Daasiri masih bertahan.

Menjelang putaran ke-20, tinggal dua pelari yang memimpin di depan dan Daasiri menempati urutan pertama. Di urutan kedua ada seorang pelari muda asal Bajo kecamatan Kulisusu, Boy Firman. Di sinilah terjadi momen yang mengetuk hati. Daasiri di urutan pertama malah berhenti menunggu pelari di urutan kedua. Ia memberi aba-aba dengan tangannya agar pemuda itu segera menyusulnya. Kemudian mereka berlari beriringan seolah-olah ia menuntun pelari muda itu. Semua penonton bersorak melihat adegan itu. Pelatih pelari muda itu berteriak,

“ikuti saja orang tua itu, timba ilmunya”.

Sambil berlari Daasiri membalikan muka dan berujar, “saya sudah menemukan penerus saya”.
Semua penonton tahu, kalau Daasiri mau berambisi menjadi juara, ia pasti bisa mengalahkan pelari muda itu satu putaran. Tapi situasi berkata lain, tampaknya Daasiri menemukan seorang murid di ajang lari marathon kali ini. Mereka kini berlari beriringan, yang senior seolah menuntun yang junior, hingga mendekati finish pelari muda itu dibiarkan mendahuluinya. Penonton bersorak melihat kejadian itu. Hasilnya pelari muda itu mendapat juara pertama dan Daasiri mendapat juara kedua.

Ketika tiba digaris finish, momen mengharukan terjadi. Pelari muda itu memeluk erat Daasiri, pelari senior yang sudah berumur 54 tahun itu. Saya sempat kecewa kenapa Daasiri tak merebut satu emas saja untuk kecamatan Kulisusu Utara. Tapi dalam hati kecil saya berkata, “tak ada yang perlu disesalkan, yang dilakukan Daasiri hari ini lebih mulia dibandingkan menyumbangkan satu emas untuk kecamatan Kulisusu Utara”.

Saya menemui Daasiri di pinggir lapangan, “kenapa bisa seperti itu Pak?” tanyaku.

 Daasiri menjawab dengan air muka senang:

“apalah saya ini sudah tua, biar saya juara karir tetap makin menurun, lebih baik kita memberi kesempatan bagi yang muda-muda supaya mereka lebih percaya diri. Tapi memang anak itu (Boy Firman) kuat dan tahan nafasnya, saya sudah lama mencari-cari pelari muda yang tahan dan kuat sebagai pengganti saya, dan saat ini saya sudah menemukannya. Yang saya jaga dipertandingan ini kita (kecamatan Kulisusu Utara) tetap dapat juara, biar hanya juara kedua”. 

Saya terdiam mendengar jawabannya itu. Rupanya itu tujuan dia masih mau ikut lari, mencari bibit pelari muda yang bisa diharapkan. Tak semua orang bisa mencapai kebijaksanaan seperti itu, hanya orang-orang yang sudah selesai dengan dirinya sendiri yang sanggup melakukannya. Walaupun Daasiri kalah, tapi sikapnya itu menunjukkan bahwa dialah sang juara sejati, yang rela memberikan tongkat etafetnya pada generasi muda.

***

Sikap Daasiri dalam kisah di atas adalah tamparan bagi generasi tua yang masih memaksakan diri mendominasi yang muda-muda. Juga tamparan keras bagi senior yang selalu merasa lebih hebat dari juniornya dalam berbagai bidang sosial. Daasiri telah memberi contoh yang baik tentang kaderisasi, bagaimana yang senior mendidik juniornya, dan bagaimana masa depan itu dipersiapkan melampaui kepentingan kita saat ini. Menjadi menang dalam pertarungan adalah tabiat narsistik bagi seorang laki-laki dan kalah adalah sesuatu yang merongrong kewibawaan seorang laki-laki, tapi Daasiri menunjukan pada kita bahwa masa depan lebih penting daripada ego nasrsitik itu.  

Rabu, 23 November 2016

Konsep Gender dan Sub-ordinasi Perempuan dalam Studi Antropologi Feminis


Ilustrasi Kesetaraan Gender
Beberapa diskusi mengenai gender pernah saya ikuti ditingkatan aktivis-aktivis LSM lokal. Namun dalam penafsiran gender selalu saja disalah pahami. Gender selalu diasosiasikan dengan perempuan atau kalau tidak sebagai kondisi keterbelakangan perempuan dalam persoalan hak-hak sebagaimana yang diperoleh laki-laki. Padahal konsep gender tidaklah seperti anggapan-anggapan di atas. Gender tidak sama dengan perempuan, bukan pula laki-laki, serta bukan pula jenis kelamin laki-laki dan perempuan, melainkan atribut-atribut sosial yang dilekatkan oleh suatu kebudayaan pada konstruksi biologis tubuh. Gender adalah sesuatu yang dikonstruksi sehingga tidak bersifat kodrati, karena itu setiap budaya memiliki konsep gender yang berbeda-beda. Berbeda dengan hal-hal biologis yang bersifat kodrati seperti jenis kelamin, menstruasi bagi perempuan, hamil dan melahirkan anak. Kalau seperti rambut panjang, dandanan, pekerjaan, kecerdasan, dll itu bukanlah hal yang kodrati dan dapat disubtitusi tanpa bantuan kecanggihan seperti “subtitusi kelamin” pada tubuh waria. Konsep biologis ini dikategorikan sebagai konsep seks dalam kajian gender.


Gender sebagai konsep atribut sosial tubuh banyak diperdebatkan dalam berbagai interaksi sosial dan dalam berbagai kebudayaan. Berbagai budaya di dunia memposisikan perempuan sebagai sub-ordinat dari laki-laki. Hal ini seperti ditengarai oleh Mary Daly (1978) yang melakukan survei global terhadap kekerasan ritual terhadap perempuan dalam budaya patriarkal seperti adat bakar diri para istri di India, Ikat kaki di Cina, klitoridektomi di Afrika, pembakaran perempuan yang dituduh tukang tenung di Eropa, serta ginekologi di Amerika. Daly juga, dalam studinya membahas istilah-istilah yang misoginistik seperti “nenek peot”, “nenek culas”, dan “perawan tua” (Rita Felsky dalam P. Beilharz, 2005). Dalam sejarah feminisme, diskriminasi juga dirasakan oleh perempuan di Amerika dimana kesempatan kerja, pendidikan dan hak memilih tidak diperbolehkan bagi perempuan. Pada abad ke-16 di Inggris perempuan mengalami diskriminasi dalam bentuk penafsiran kitab-kitab injil mengenai penciptaan laki-laki dan perempuan (Hodgson dan Wright, 2010). Adalah Jane Anger yang melakukan pembelaan atas tafsiran mengenai penciptaan laki-laki dan perempuan. Anger mengatakan: penciptaan laki-laki dan perempuan pada mulanya, laki-laki dibentuk....dari barang-barang buangan dan tanah liat yang kotor, sampai pada saat Tuhan melihat bahwa ciptaan-Nya itu baik adanya. Dengan menghilangkan debu yang menjijikan pada tubuhnya, dia dimurnikan. Kemudian karena Adam tidak memiliki siapa-siapa, Tuhan menciptakan seorang perempuan dari daging laki-laki yang lebih suci. Ini membuktikan bahwa kita sebagai perempuan jauh lebih sempurna daripada laki-laki.




Ilustrasi Gerakan Feminisme

Penjelasan di atas memberi bukti adanya diskriminasi perempuan dalam berbagai kebudayaan di dunia. Namun apakah hal yang sama merupakan perkara universal yang terjadi di seluruh belahan dunia? tentu “tidak”. Adalah Rosaldo yang pernah mempublikasikan tentang sifat universal dikotomi laki-laki dan perempuan di mana laki-laki sebagai ordinat, perempuan sub-ordinat, laki-laki publik, dan perempuan domestik. Namun kemudian Rosaldo mengevaluasi teori universalitasnya itu dan menerbitkan buku yang berjudul Knowledge and Passion: Ilongot Notions of Self and Society. Susan Millar dalam penelitiannya pada suku Bugis di Sulawesi Selatan mengemukakan bahwa hierarki dalam masyarakat Bugis bukan pada persoalan gender melainkan pada status sosial mana perempuan dan laki-laki berada (Idrus, 2006). Terdapat bias perspektif dalam memandang posisi laki-laki dan perempuan yakni bias pemikiran Barat yang mendikotomikan ordinat dan sub-ordinat laki-laki dan perempuan. Hal ini menyebabkan gagalnya seorang komentator atau peneliti untuk melihat keunikan budaya lain terutama kebudayaan di luar Eropa. Sudah merupakan tugas dari kajian antropologi feminis untuk mendekonstruksi berbagai bias pemikiran yang meniscayakan kerangkan sub-ordinasi perempuan tanpa pengkajian yang lebih mendalam.


Dalam pidato pengukuhan Guru Besarnya Nurul Ilmi Idrus (2006) menjelaskan adanya bias pemikiran dalam studi antropologi feminisme yakni  masalah yang terkait dengan bias laki-laki (androgenic bias), yang terdiri atas tiga tingkatan, yaitu: 1) bias yang berasal dari para antropolog dimana peneliti sering beranggapan bahwa laki-laki lebih mudah diajak berbicara dibanding perempuan sehingga informan lebih banyak diambil dari laki-laki, 2) bias dari kelompok masyarakat yang diteliti bahwa perempuan adalah subordinat laki-laki dan bias inilah yang ditangkap oleh peneliti. 3) bias yang melekat dalam kebudayaan Barat (eurocentric bias), jika peneliti melihat ada hubungan asimetris antara perempuan dan laki-laki, maka ini dianggap sebagai ketidaksetaraan dan hierarkis di masyarakat Barat. Sebagaimana yang dilakukan Rosaldo yang mendekonstruksi bias-bias universalitas penidasan atas perempuan dalam kajian feminisme. Dengan demikian kajian antropologi feminis tidak memandang perempuan sebagai fokus, melainkan konsep gender (tentunya melibatkan laki-laki dan perempuan) sebagai fokus utama dalam penjelasannya. Dengan kata lain antropologi feminis bukan sebagai “studi mengenai perempuan”, tapi merupakan “studi tentang gender”.  
luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com